Butet, Nyanyian Pilu Di Tengah Perang


Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
Bagaimana revolusi di Tapanuli melahirkan sebuah tembang yang merakyat.

Oleh: Martin Sitompul

Lukisan karya S. Sudjojono berjudul Mengungsi, 
memberi ilustrasi suasana pengungsian saat perang. 
Sumber foto: Repro Katalog Pameran 17:17.

Maraden Panggabean masih berpangkat mayor ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama di Sumatera Utara, Juli 1947. Dalam waktu singkat, Belanda menduduki daerah strategis seperti Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan. Imbasnya, terjadi gelombang pengungsian besar-besaran menuju pedalaman Tapanuli. Diperkirakan sebanyak sejuta orang pengungsi mengalir ke sana.

Dalam memornya, Maraden menyaksikan para pengungsi yang terpaksa berjalan kaki membawa barang seadanya. Orang tua, anak-anak dan bayi turut serta. Mereka biasanya mengikuti pasukan Republik yang mengundurkan diri. Medan yang ditempuh cukup rawan dan membahayakan. Mulai dari jalanan perkebunan, jalan setapak, rawa-rawa, hutan belantara, hingga pegunungan. Terik matahari dan hujan tropis acap kali mengiringi. Mereka semua menderita.

“Ini membuat seorang komponis mengarang lagu Butet yang sangat populer itu, yang menggambarkan semangat berkobar-kobar dari seorang ibu yang ditinggalkan sang suami untuk pergi bergerilya melawan musuh,” kenang Maraden dalam Berjuang dan Mengabdi. Di era Orde Baru, Maraden kelak menjadi panglima ABRI periode 1973—1978.

Butet yang populer hingga hari ini masih berselubung misteri. Tak diketahui siapa nama pengarangnya. Namun yang pasti lagu tersebut lahir di tengah rakyat yang dirundung perang lantas berkembang dari mulut ke mulut.

Derita Pengungsian

Butet adalah lagu rakyat Batak yang dialunkan dengan tempo mendayu. Isi lagu itu berkisah tentang seorang ayah yang terpaksa meninggalkan istri dan putrinya karena harus berjuang dalam perang gerilya. Menilik liriknya, lagu ini berupa tuturan perasaan sang ibu kepada putrinya yang dinamai Butet. Butet sendiri merupakan sebutan dalam bahasa Batak terhadap anak perempuan, seperti halnya nduk di kalangan suku Jawa atau neng bagi orang Sunda

Rizaldi Siagian, etnomusikolog Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan bahwa bentuk melodi lagu Butet masuk dalam kategori nyanyian “lamenta” atau ratapan. Dalam tradisi musik vokal Batak disebut andung. Menurut Rizaldi, bila memperhatikan teksnya, lagu Butet populer sesudah masa kemerdekaan. Meski demikian, sukar untuk mengklaim siapa pencipta maupun komponisnya.

“Penciptanya N.N. (no name), tak dikenal,” kata Rizaldi kepada Historia.

Baca juga: Senandung Andung, Mengenang yang Berpulang

Beberapa sumber sejarah ataupun kesaksian mantan pejuang mencatat serpihan kisah mengenai ihwal lagu Butet. Namun itu belum cukup kuat membuktikan darimana muasalnya. Tapi yang jelas, lagu itu lahir dari suasana penderitaan yang timbul akibat kecamuk perang.

Amran Zamzami, mantan veteran pertempuran Medan Area menyebutkan bahwa lagu Butet lahir dari pertempuran-pertempuran yang terjadi di front Tanah Karo jelang agresi militer Belanda ke II. Lagu itu, menurut Amran, mengenang keheroikan masyarakat Karo yang pantang menyerah.

“Pertempuran demi pertempuran dan nasib keluarga pejuang itulah yang mengilhami seorang seniman menciptakan lagu Butet,” tulis Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.

Sementara mantan wartawan senior kota Medan Edisaputra dalam bukunya Sumatera dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris, dan Belanda mencatat pengungsian rakyat menyebabkan banyak ibu-ibu yang melahirkan bayinya secara darurat. Persalinan kerap terjadi di hutan-hutan, lembah yang lembab tanpa bantuan bidan atau dukun beranak. Banyak diantaranya yang meninggal, baik ibu maupun bayi. Selesai melahirkan, selang beberapa jam harus berangkat lagi meneruskan perjalanan.

“Peristiwa yang tragis ini mengilhamkan bagi beberapa seniman sehingga terciptalah lagu “Butet”, lagu yang sangat digemari dan populer dikalangan pejuang,” tulis Edisaputra.

Tercipta di Gua?

Satu pertanyaan belum terkuak. Siapa yang menciptakan lagu Butet? Menurut Jason Gultom, wartawan senior Batak Post yang berdomisili di Tapanuli Tengah, proses terciptanya lagu Butet berkaitan dengan pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) di Sitahuis.

Pada 2008, ketika menjadi wartawan Metro Tapanuli Jason menelusuri langsung Desa Sitahuis yang berjarak 16 km dari Sibolga, ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah. Dari pengakuan warga setempat diperoleh keterangan bahwa Butet merupakan lagu pengantar tidur (lullaby) yang dinyanyikan seorang ibu untuk putrinya. Lirik aslinya pun telah mengalami gubahan yang sedikit berbeda dari versi sekarang.




Lagu Butet di mulai dengan lirik, “Butet di pangungsian do amangmu ale Butet // Da margurilla da mardarurat ale Butet.” Artinya, “Butet di pengungsiannya ayahmu oh Butet // Bergerilya dalam darurat oh Butet.” Maka lirik aslinya menurut tua-tua di Sitahuis berbunyi, “Butet di Sitahuis do amang mu ale Butet // Da mancetak hepeng ORITA ale Butet.” Artinya, “Butet di Sitahuisnya ayahmu oh Butet // Mencetak uang ORITA oh Butet.”

“Jadi (Butet) itu semacam lagu nina bobo yang dinyanyikan begitu saja dan kemudian jadi viral kalau istilahnya sekarang” kata Jason Gultom kepada Historia lewat sambungan telepon.  “Menurut tuturan orang tua di sana, lagu itu dinyanyikan oleh (perempuan) boru Lumban Tobing di Gua Naga Timbul waktu mau menidurkan anaknya. Tak tahu siapa nama aslinya.”  

Jason menjelaskan, di Tapanuli Tengah, Belanda punya misi khusus memburu mesin percetakan ORITA. Pasalnya, keberadaan ORITA sebagai alat tukar menyebabkan mata uang Belanda tak berlaku di karesidenan Tapanuli. Untuk menghindari kejaran Belanda, rakyat Sitahuis khususnya perempuan dan anak-anak bersembunyi di tengah hutan dalam lahan gua yang dinamai Naga Timbul. Sementara kaum pria bertahan di Sitahuis untuk bergerilya ataupun mencetak ORITA. Pencetakan uang juga sempat berlanjut di Gua Naga Timbul.

Bila lagu Butet bertemali dengan keberlangsungan ORITA, maka kapan persisnya lagu itu tercipta beriringan dengan aktivitas pencetakan. Sosok Ferdinand Lumban Tobing, residen Tapanuli saat itu menjadi cukup penting. Dengan bubuhan tanda tangannya lah maka ORITA sah sebagai mata uang dan alat pembayaran. Dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr. Ferdinand Lumbantobing karya H. Afif Lumbantobing disebutkan pencetakan ORITA dilaksanakan di Aek Sitahuis. Kegiatan pencetakan dimulai pada 15 Agustus 1947.

Lagu Butet sendiri kian mengkhalayak ke seantero tanah air setelah penyanyi kawakan, Emilia Contesa ikut memopulerkannya pada dekade 1970-an. Dari lagu rakyat, ia menjadi lagu yang digemari skala nasional. Hingga kini, lagu Butet kerap diperdengarkan di mana-mana, dengan berbagai aransemen. Di rumah, di acara pesta, hingga di lapo tuak, senandung Butet membuat haru terkesima siapa saja yang mendengarmya.